PENGANTAR
Sebagai
teori, rekonstruksianisme menaruh perhatian terhadap pendidikan dalam kaitan
dengan masyarakat. Para pendukung rekonstruksianisme mengambil posisi bahwa
pendidikan itu adalah institusi sosial, dan sekolahpun merupakan bagian dari
masyarakat.
Secara
khusus pendukungnya mengamati tentang keadaan masyarakat Amerika pada khususnya
dan masyarakat negara industri
pada umumnya, karena dianggap mengalami perubahan-perubahan
tata kehidupan yang semakin menjauh dari apa yang diidam-idamkan. Perkembangan
ilmu, teknologi, dan industrialisasi telah memberikan sumbangan-sumbangan
positif bagi kemanusiaan seperti peningkatan kesejahteraan, namun di lain pihak juga
memberikan pengaruh-pengaruh yang negative.
Masyarakat
yang tenang, tentram, dan damai dalam artian yang wajar, seolah-olah
berangsur-angsur diganti oleh masyarakat yang coraknya tidak menentu, tiada
kemantapan, dan yang lebih penting dari itu lepasnya individu dalam
keterkaitannya dengan masyarakat serta adanya keterasingan.
Bab
ini selanjutnya mengetengahkan latar belakang timbulnya rekonstruksianisme
serta harapan-harapannya, kedudukan manusia dalam masyarakat, budaya teknologi
dan industry, ide-ide sentral tentang pendidikan, kurikulum, siswa dan guru.
Sebagi bagian akhir bab ini adalah rangkuman.
LATAR BELAKANG
Bagian
dimuka telah menyebutkan adanya pengamatan dari pendukung rekonstruksianisme tentang
berbagai perkembangan negative pada masyarakat yang ditimbulkan oleh teknologi
dan industrialisasi. Salah satu diantaranya adalah lepas dan keterasingan
individu dari masyarakat.
Sejumlah
pengamat menganggap bahwa kekurangan itu timbul sebagai akibat dari kurang
terkendalinya perkembangan masyarakat Amerika karena sifatnya yang laises faire. Kompetisi terlalu
berlebihan, yang kesemuanya lebih menjurus kepada pemenuhan kepentingan
individual dari pada kepentingan social.
Oleh
karena sifat-sifat itu, Amerika Serikat sulit sekali untuk menyembuhkan
goncangan social ekonomi sebagai akibat dari Perang Dunia I(PD I). di sekitar
tahun dua puluhan keadaan perekonomian sampailah pada titik yang terlemah.
Hamper tiada daya untuk menanggapi tuntutan masyarakat yang terutama menderita
kesulitan dalam kehidupan karena melemahnya kemampuan ekonomi negara itu.
Sejumlah
ahli fikir menyarankan agar kehidupan perekonomian yang semula berbentuk individual interpreneurship itu diubah
menjadi cooperative bersendikan
konsep kerja kolektif. Terjemahan pandangan ini secara lebih nyata ialah bila
masalah-masalah yang terdahulu lebih dihayati sebagai urusan-urusan individual
hendaklah diangkat sebagai masalah nasional dengan diikuti oleh pengubahan
tatakerja yang semula laise faire
menjadi terpusat secara nasional.
Dalam
implementasinya, gagasan ini ternyata membuahkan hasil yang baik, misalnya
dengan keberhasilan yang dikenal dengan The
New Deal untuk seluruh rakyat pada masa pemerintahan Presiden Franklin D.
Rosevelt. Neraca pembayaran dapat dipulihkan kembali (disehatkan) dan taraf
kehidupan rakyat menjadi lebih tinggi dibandingkan masa depresi sebelum tahun
tiga puluhan.
Keadaan-keadaan yang lebih baik itu
menjadikan para pemikir pendidikan semakin yakin bahwa pendidikan perlu
mempunyai peranan positif dalam mengadakan rekonstruksi pendidikan. Masyarakat
yang direkonstruksi ini hendaklah lebih mengutamakan kebersamaan daripada
kepentingan-kepentingan individu (perorangan).
Salah seorang eksponen yang berfkir
untuk menjadikan pendidikan lebih sebagai instrumen masyarakat daripada
kepentingan individu adalah George S. Counts. Dengan tulisan yang berupa
pertanyaaan dan tantangan kesanggupan-kesangggupan pendidikan untuk mewujudkan
tata sosial baru, menurut Ricard Pratte,
Counts mengetengahkan dua hal. Pertama,
sekolah perlu berperan untuk meratakan kesejahteraan. Sekolah hendaklah
memberikan tempat semestinya bagi seluruh lapisan masyarakat.
Kedua, guru hendaklah meningkatkan status dan perannya secara
profesional. Selain menjadi pendidik dan pengajar yang baik guru hendaklah ikut
menelaah masalah-masalah yang timbul dalam masayarakat.
Dengan diikuti olah banyak penddik
yang sealiran, rekonstruksianisme menjadi gerakan yang lebih nampak pada
pertengahan kedua Abad XX.
MANUSIA DALAM MASYARAKAT
Menurut pengamatan
rekonstruksianisme manusia itu sejak kecilnya mempunyai potensi-potensi yang memberikan kemungkinan
baginya untuk luwes (fleksibel) dan kukuh (firm) dalam sikap dan tingkah
lakunya. Lain dari itu juga dapat diamati bahwa pengetahuan, kecakapan, dan
keterampilan yang dimiliki seseorang itu diperoleh (derived) lewat pendidikan
atau kegiatan-kegiatan lain yang sejenis. Ini merupakan perpaduan pertemuan
antara potensi-potensi yang
dimiliki dengan pengaruh yang berasal dari luar.
Terbentuknya manusia seperti yang
telah disinggungkan dimuka menjadi mungkin karena adanya kebudayaan. Dalam hal
ini manusia adalah pencipta kebudayaan, dan sebaliknya kebudayaan membentuk
manusia dan masyarakat; demikian seharusnya, silih berganti.
Rekonstruksianisme berpendapat bahwa
nilai tertinggi dimiliki oleh manusia bila ia memperoleh kesempatan untuk
mengembangkan potensi-potensinya secara alami dan secara penuh . namun,
pendidikan sebagai transformasi
nilai-nilai budaya cenderung untuk mengantarkan subyek untuk memahami sebagian saja dari
segmen-segmen kehidupan kebudayaan dan kemasyarakatan. Pendidikan nampak kurang
mampu untuk mengarahkan subyek didik untuk pemahaman ke totalitas.
Atas dasar pemahaman tersebut dapat
dikatakan pendidikan itu mempunyai sifat instrumental terhadap tujuan-tujuan
yang hendak dicapai.
Pengembangan teknologi dan
industrialisasi di Barat dengan menumbuhkan adanya suatu masyarakat yang
bercorak khusus. Kekhususan itu terutama sekali karena diberi warna budaya
teknologi dan budaya industri.
Pengamatan menunjukkan teknologi dan
industrialisasi yang telah berkembang ini meningkatkan kesesejahteraan manusia
yang tiada taranya dalam sejarah,
namun masyarakat menjadi tersegmentaris (terkotak-kotak), terstruktur, sehingga
kehidupan seolah-olah menjadi satu jaringan raksasa. Struktur tersebut
terbentuk karena dorongan kerja dalam masyarakat menjadi efisien dan efektif.
Masyarakatpada umumnya atau lingkungan kerja pada khususnya menjadi terstruktur
sedemikian hingga tiap anggota (orang yang bertugas) dalam sektor hanya
terbatas kemungkinan geraknya.
Sebagai akibat dari struktur yang
ketat tersebut masyarakat pada umumnya atau lingkungan kerja tertentu diwarnai
oleh tatanan birokrasi. Dinding-dinding birokrasi tidak mudah untuk “ditembus”
atau “dititipkan”.
Sulitnya “menembus” dan “menipiskan”
dinding birokrasi disebabkan oleh peranan pendidikan yang lebih mengarahkan
subyek didik menjadi spesialis atau orang-orang yang mempunyai
kecakapan-kecakapan tertentu secara
khusus. Ini berarti budaya teknologi dan industri menyiapkan tenaga untuk
administrasi atau tenaga pelayanan dari pada orang yang mampu berinisiatif atau
kreatif.
BUDAYA
TEKNOLOGI DAN INDUSTRI
Sebagaimana disinggung
di muka budaya teknologi dan industri telah menghasilkan tata kehidupan
tertentu pada masyarakat. Dengan berkembangnya masyarakat menjadi struktural,
maka, sesorang seolah- olah hanya sebagai satu titik dari struktur, yang
akhirnya sulit untuk berubah atau bergerak maju.
Budaya teknologi dan
industri telah mengembangkan budaya hegemoni, yang dalam kehidupan di
masyarakat terwujud
sebagai bentuk-bentuk pengawasan terhadap masyarakat. Jadi, hegemoni budaya itu berfungsi sebagai ideologi, yang
dimaksud tidak lain adalah semacam pandangan dunia atau sistem nilai yang
timbul sebagai refleksi dari teknologi dan industralisasi.
George F. Kenller,
dalam bukunya yang berjudul Movements Thought In Modern Education, membuat
ikhtisar pandangan Michael Apple tentang ideologi yang dimaksud. Ada tiga unsur
yaitu :
1. Pandangan
bahwa kemajuan itu tergantung dari sains
dan industri
2. Suatu
kepercayaan dalam masyarakat, bahwa agar, orang mampu menyumbangkan jasanya
dalam masyarakat yang kompetitif individu- individu perlu beragam
kemampuan-kemampuannya( antara lain dengan pendidikan spesialisasi)
3. Kepercayaan
bahwa hidup yang memadai sama dengan menghasilkan dan mengonsumsikan barang dan
jasa bagi masyarakat.
Tiga tiganya tercermin
dalam kurikulum sekolah . menurut Apple, ini berarti sekolah berfungsi sebagai
lembaga penyebar budaya hegemoni.
Selanjutnya, masyarakat
teknologi dan industri telah berubah menjadi masyarakat golongan menengah, maka
budaya hegemoni itu menjadi instrumen dari golongan menengah atas atau tinggi
dalam mempengaruhi kelompok lain. Selain itu juga menjadi wahana untuk
memproduksi struktur masyarakat tersebut.
Reproduksi
yang dimaksud mempunyai beberapa makna. Pertama ; sosial, yang berati
pendidikan akan menghasilkan bentuk-bentuk masyarakat yang sama. Kelompok
tinggi dan kelompok menenggah atas mendominasi kelompok yang lebih rendah.
Kedua: budaya teknologi dan industri dengan hegemoninya. Ketiga; ekonomi,
dengan masyarakat yang kurang memiliki kesamaan dan kesempatan bagi
warga-warganya untuk menguasai materi bagi peningkatan kesejahteraanya.
Dengan
memperhatikan teori reproduksi yang dipaparkan secara singkat ini, maka, agar
perubahan dalam masyarakat ini terjadi pendidikan terus di jadikan sarana untuk
mengkonstruksi masyarakat. Disamping itu, juga menjadi jelas bila ada anggapan
pendidikan mempunyai aspek-aspek yang terkait dengan kehidupan sosial, ekonomi
dan politik.
IDE-IDE SENTRAL TENTANG PENDIDIKAN
Perkembangan
rekonstruksianisme dari sejak tampil tokoh-tokohnya pada awal tahun tiga
puluhan sampai dengan akhir-akhir ini memperjuangkan hal-hal yang sama, yaitu
pendidikan hendaklah menjadi wahana rekonstruksi sosial. Salah satu tokoh yang
tenar sejak awal tahun tiga puluhan, yaitu George S. Counts, mengharapkan
adanya rekonstruksi sosial karena kekurang menentuan masyarakat Amerika yang
disebabkan oleh berkecamuknya liberalisme dengan laises fairenya. Ia
menghendaki agar pendidikan-menumbuhkan asas korporatif dalam berbagai
kehidupan terutama dalam bidang ekonomi.
Perkembangan ini
ternyata merupakan titik balik karena meningkatnya teknologi dan
industrialisasi menjadi masyarakat terstruktur, yang menurut sejumlah pengamat
menyebabkan menurunnya martabat manusia. Ini terutama disebabkan oleh kedudukan
manusia yang seolah-olah hanya sebagai noktah dalam susunan lapangan kerja atau
pengabdian tertentu.
Hal-hal itulah yang
menumbuhkan fikiran-fikiran kritis tokoh-tokoh rekonstruksianis berikutnya
dengan tetap berprinsip pada rekonstruksi masyarakat sebagai tujuan pendidikan.
Pendidikan yang dikehendaki dapat menjadi peluang bagi subyek didik untuk
merealisasikan dirinya secara wajar. Merealisasikan diri atau mewujudkan diri
ini sejalan dengan asas-asas perkembangan masyarakat Barat, yaitu kebebasan
(liberty), kesamaan (equality), dan persaudaraan (fraternity).
Sejauh ini pengamatan
dan pemikiran-pmikiran dari pendukung rekonstruksianisme ini selain merupakan
pengumpulan data atau fakta juga berwujud semacam lontaran kritik tehadap
kepincangan ide dan pelaksanaan pendidikan. Berikut ini disajikan dua hal yang
merupakan hasil pengamatan, yaitu masalah kurikulum semu (hidden curriculum)
dan kotak hitam (black box). Keduanya akan disinggung secara singkat.
Mendidik lewat sistem
persekolahan pada asasnya melaksanakan kurikulum. Kurikulum ini dapat diberi
makna sebagai kuikulum dalam teori dan kurikulum dalam praktek. Persoalan yang
dapat timbul yang mengenai hubungan kurikulum dalam teori dan kurikulum dalam
praktek adalah bagaimana pelaksanaan kurikulum itu agar benar-benar seperti
yang dikehendaki oleh teori. Sesuai dengan konstelasi kemasyarakatan dan
kehidupan ekonomi yang senyatanya, menurut Michael Apple pernyataan itu dari
awal-awal telah menunjukkan jawaban yang kurang memuaskan persoalannya adalah
terletak pada hegemoni budaya yang
telah disinggung di muka.
Dalam
penglihatan yang biasa terhadap pelaksanaan pendidikan dan pengajaran hampir
selalu dapat dicatat adanya akibat-akibat tertentu dari pendidikan yang berada
si luar tujuan yang telah ditetapkan. Misalnya, bila materi kurikulum lebih
mencerminkan tuntutan kehidupan untuk daerah perkotaan, maka tumbuhlah diantara
para siswa “semacam motivasi” tidak langsung keinginan untuk urbanisasi. Bila
fasilitas-fasilitas untuk kehidupan di daerah pedesaan masih berbeda jauh
dengan yang terdapat di perkotaan “motivasi” untuk urbanisasi itu tertanam pada
subyek didik lewat pendidikan.
Menurut Henry
A. Gyroux, pengertian kurikulum semu itu hendaklah digunakan sebagai bekal
untuk meninjau secara kritis muatan hegemoni budaya (dalam kurikulum yang lazim
sekarang), hingga hasilnya adalah terbentuknya masyarakat tidak seimbang ini.
Uraian tentang harapan ini disajikan pada pembahasan khusus tentang kurikulum.
Hal berikut yang perlu
mendapatkan perhatian menurut rekonstruksianisme adalah apa yang dinamakan kotak hitam (black box). Yang dimaksud
dengan kotak hitam ini ialah keadaan-keadaan dalam sekolah atau khususnya
kelas, yang selama ini terabaikan pengamatannya secara sosiologis.
Selama ini keadaan di
sekolah atau khususnya di kelas sering dipandang sebagai sesuatu yang abstrak
yang berarti kurang memenuhi tinjauan menurut sosiologi. Michael W. Apple dan
Lois Weis menunjukkan bahwamateri kurikulum sekarang umumnya kurang
mencerminkan kebutuhan siswa karena berorientasi pada kepentingan kelompok
pemegang peran dalam pengembangan masyarakat, yaitu kelas menengah atas dan
tinggi. Mereka lebih bersifat menerima dari pada mengarbsorsikan
pengetahuan-pengetahuan itu secara kritis dan sadar. Malaha, selalu dapat
diperkirakan sebagian siswa terpaksa menerima materi-materi pelajaran dengan
sikap yang kurang serasi atau malahan menolaknya secara batiniah.
Berikut ini disajikan
dua hal yang merupakan hasil pengamatan, yaitu masalah kurikulum semu (hidden
curriculum) dan kotak hitam (black box). Keduanya akan disinggung secara
singkat.
Mendidik lewat sistem
persekolahan pada asasnya melaksanakan kurikulum. Kurikulum ini dapat diberi
makna sebagai kurikulum dalam teori dan kurikulum dalam praktek. Persoalan yang
dapat timbul yang mengenai hubungan kurikulum dalam teori dan kurikulum dalam
praktek adalah bagaimana pelaksanaan kurikulum itu agar benar-benar seperti
yang dikehendaki oleh teori.
Sesuai dengan
konstelasi kemasyarakatan dan dan kehidupan ekonomi yang senyatanya, menurut
Michael Apple, pertanyaan itu dari awal-awal telah menunjukkan jawaban yang
kurang memuaskan. Persoalannya adalah terletak pada hegemoni budaya yang telah disinggung dimuka.
Dalam penglihatan yang
biasa terhadap pelaksanaan pendidikan dan pengajaran hampir selalu dapat
dicatat adanya akibat-akibat tertentu
dari pendidikan yang berada di luar tujuan yang telah ditetapkan. Misalnya,
bila materi kurikulum lebih mencerminkan tuntutan kehidupan untuk daerah
perkotaan, maka tumbuhlah di antara para siswa “semacam motivasi” tidak
langsung keinginan untuk urbanisasi. Bila fasilitas-fasilitas untuk kehidupan
di daerah pedesaan masih berbeda jauh dengan yang terdapat di perkotaan
“motivasi” untuk urbanisasi itu tertanam pada subyek didik lewat kurikulum.
Menurut Henry A.
Gyroux, pengertian kurikulum semu itu hendaklah digunakan sebagai bekal untuk
meninjau secara kritis muatan hegemoni budaya (dalam kurikulum yang lazim
sekarang), hingga hasilnya adalah terbentuknya masyarakat tidak seimbang ini.
Uraian tentang harapan ini disajikan pada pembahasan khusus tentang kurikulum.
Hal berikut yang perlu
mendapatkan perhatian menurut rekonstruksianisme adalah apa dinamakan kotak hitam (black box). Yang dimaksud
dengan kotak hitam ini ialah keadaan-keadaan dalam sekolah atau khususnya
kelas, yang selama ini terabaikan pengamatannya secara sosiologis.
Selama ini keadaan di
sekolah atau khususnya di kelas sering dipandang sebagai sesuatu yang abstrak
yang berarti kurang memenuhi tinjauan menurut sosiologi. Suatu kelas terdiri
atas anak-anak yang usianya lebih kurang sebaya dengan kecerdasan atau
kemampuan yang lain sebaya pula, yang referensinya telah ada sebagai hasil
penelitian atau ungkapan lain secara psikologik. Pada hal
pengetahuan-pengetahuan yang diberikan, yaitu kurang ditransferkan lewat
kurikulum sering-sering membawa persoalan tersendiri.
Michael W. Apple dan
Lois Weis menunjukkan bahwa materi kurikulum sekarang umumnya kurang
mencerminkan kebutuhan siswa karena berorientasi pada kepentingan kelompok
pemegang peran dalam pengembangan masyarakat, yaitu kelas menengah atas dan
tinggi. Menurut tokoh-tokoh ini orientasi tersebut lebih-lebih tercermin pada
paket-paket bahan pelajaran yang disusun dan diterbitkan oleh perusahaan besar.
Proses pendidikan dan pengajarannya menumbuhkan suasana pasif atau laise faire
pada pihak siswa. Mereka lebih bersifat menerima dari pada mengabsorbsikan
pengetahuan-pengetahuan itu secar kritis dan sadar. Malahan, selalu dapat
diperkirakan sebagian siswa terpaksa menerima materi-materi pelajaran dengan
sikap yang kurang serasi atau malahan menolaknya secara batiniah.
Sebagai akibatnya, guru
di sekolah kurang mempunyai peluang untuk memahami materi secara baik,
lebih-lebih berinisiatif untuk mereka-reka materi pelajaran untuk disesuaikan
dengan situasi dan kondisi tertentu yang relevan. Oleh karena sebagian siswa
tidak dapat menguasai materi pengetahuan dan keterampilan yang diberikan, dalam
masyarakatpun mereka tidak dapat berdiri sama tinggi dibandingkan dngan yang
lain. Agar asas kesamaan (equality) dalam masyarakat dapat tercipta pendidikan
perlu mengurangkan sesedikit mungin kotak-kotak hitam tersebut.
KURIKULUM
Dimuka
telah berulang kali disinggung adanya sejumlah konsepsi dari rekonstruksianisme
tentang keinginan untuk menjadikan pendidikn sebagai wahana rekonstruksi
masyarakat. Maka dari itu bila sekolah atau guru kurang atau tidak menaruh
perhatian sama sekali terhadap apa yang ada dan terjadi diluar dinding sekolah
bukanlah pendidkan yang tepat.
Menurut
pratte, rekonstruksianisme membayangkan masyarakat sebagai laboratoria yang
dapat digunakan untuk mencari penyelesaian masalah sosial seperti konformitas,
ketergantungan, hal-hal yang lebih khusus seperti masalah perkotaan, polusi,
dan lain-lainnya. Masalah-masalah ini nampak terus meningkat kuantitas dn
kualitasnya di Amerika Serikat.
Lebih
lanjut Pratte mengatakan siswa perlu dibekali dengan pengetahuan-pengetahuan
yang mendorong perkembangan kemampuan melihat dan memecahkan sesuatu secara
kritis. Untuk ini yang diperlukan adalah pengetahuan-pengetahuan dasar seperti
matematika, fisika, kimia, sosiologi dan lain-lainnya ditambah dengan hal-hal
yang sekarang menonjol seperti industrialisasi, media massa, tenaga nuklir,
ekologi dan lain-lain.
Dengan
memasukkan sejumlah pengetahuan dan masalah-masalah aktual itu, diharapkan
keaktivan guru meningkat, dan siswa-siswa dilatih untuk berpikir dan berupaya
untuk mengembangkan hal-hal terpuji untuk masa mendatang. Sedangkan guru, perlu
lebih memperdalam pengetahuannya tentang sosiologi dan antropologi.
Filsafat
John Dewey, yaitu eksperimentalisme, nampaknya cukup terefleksi pada pandangan
rekonstruksianisme tentang kurikulum seperti tersebut dimuka. Kurikulum
tersebut diharapkan mampu mengembangkan kemampuan berfikir kritis, kemampuan
memecahkan masalah, dan berbuat secara realistik.
Meskipun
demikian, tokoh-tokoh rekonstruksianis seperti Stanley Aronowitz dan Henry A.
Giroux, menganggap filsafat John Dewey tersebut masih “terhenti” pada tahap
konsepsi umum saja, karena belum secara “nyata” menunjuk pada masyarakat
tertentu.
Upaya
untuk “melanjutkan” pemikiran itu antar lain dilakukan oleh Michael W. Apple
dengan konsepnya tentang kurikulum yang dapat menipiskan peranan budaya
hegemoni. Secara selintas hal ini telah disinggung di muka.
Hal utama yang dapat digunakan untuk mengurangkan
ialah bila pengetahuan dan keterampilan tidak hanya ditransferkan, tetapi
sekaligus ditransformasikan hingga selain dikuasai oleh siswa, juga
membangkitkan kemampuan berikir kritis dan kreatif. Para siswa perlu dimotovasi
agar mampu membayangkan masa mendatang.
SISWA DAN GURU
Ada hal-hal yang ideal
yang dikembangkan oleh rekonstruksianisme di sekitar siswa dan guru. Kedua
komponen pendidikan ini hendaklah memperoleh perlakuan yang tepat agar dapat
diketemukan langkah-langkah perbaikan untuk masa mendatang.
Siswa
yang lebih banyak dipandang atau dijadikan makhluk yang pasif, perlu
diubah menjadi makhluk yang aktif dan kreatif. Salah satu upaya
yang dapat dilakukan adalah pengubahan konsepsi: pendidikan sebagai transfer
pengetahuan menjadi transformasi pengetahuan. Siswa diharapkan diikut sertakan
mencerna pengetahuan itu hingga menjadi miliknya. Untuk ini, sebagaimana disinggung
di muka, pengetahuan yang diberikan kepada siswa hendaknya tidak hanya
pengetahuan-pengetahuan dasar, melainkan juga yang berkaitan dengan
problema-problema yang ada dalam masyarakat. George S. Counts menyebutkan
pengetahuan-pengetahuan tersebut sebagai pembentuk mata krisis (critical
eye) pada siswa.
Hal
yang ideal tentang guru diberi nama oleh Stanley Aronowitz dan Henry A.
Giroux sebagai memiliki kemampuan sebagai seorang intelek yang transformatif.
Menurut kedua tokoh ini, usaha-usaha inovasi pendidikan selama ini memang telah
menghasilkan perubahan atau perbaikan, namun belum dapat mengembangkan pribadi
guru yang ideal. Kalau pribadi guru ini dapat dikembangkan secara ideal
pembaharuan akan dapat terus menerus dilakukan. Guru hendaknya menjadi seorang
intelek yang transformative.
Seorang
guru hendaknya bukan hanya menerima dan menjalankan kurikulum yang ada,
melainkan secara kritis dapat menghubungkan materi-materi kurikulum itu dengan
relevansinya dengan masyarakat. Seperti halnya, yang diutarakan di muka
misalnya, mata pelajaran geografi dapat dikaitkan dengan problem-problem
tentang kepadatan penduduk, urbanisasi, dan lain sebagainya. Selanjutnya,
dimana perlu mampu mengadakan revisi agar materi pelajaran memang cocok dengan
kebutuhan siswa.
Kalau
kemampuan professional untuk mengadakan revisi itu tidak memadai, guru dapat
mengambil langkah lain. Dari pokok-pokok bahasan yang telah secara sekuensial
ditetapkan, guru dapat memilih materi-materi yang dapat membangkitkan pandangan
kritis siswa.
Dalam pelajaran fisika
yang pokok bahasannya menegenai fisika inti misalnya, dapat dikaitkan dengan
pertanyaan etis tentang gejala meningkatnya perlombaan persenjataan.
Guru yang transformatif diharapkan mampu mengembangkan kesasaran tentang
pengembangan nuklir untuk perdamaian dan kemanusiaan. Artinya, sampai-sampai
para siswa menganggap perlombaan persenjataan itu justru berlawanan dengan
kemanusiaan.
RANGKUMAN
Rekontruksianisme
timbul sebagai akibat dari pengamatan tokoh-tokoh pendidik terhadap masyarakat
Amerika khususnya dan masyarakat Barat pada umumnya, yang menjelang tahun tiga
puluhan menjadi kurang menentu. Keadaan masyarakat tidak sepadan dengan harapan
ideal seperti timbulnya kebebasan, kesamaan, dan persaudaraan. Untuk
mengembalikan kepada cita-cita semula hendaknya pendidikan dapat berperan
sebagai instrumen rekontruksi masyarakat.
Oleh
karena melonjaknya individualisme dan laises faire, hendaknya rekontruksi itu
mengarah kepada keinterprenuran kooperatif. Keberhasilan upaya ini antara lain
ditunjukkan dengan adanya The New Deal.
Namun,
keberhasilan juga menjadi titik balik, karena meningkatnya pengembangan
teknologi dan industrialisasi, malahan masyarakat menjadi terstruktur
sedemikian ketatnya. Di samping itu yang muncul adalah ketidaksamaan.
Ketidaksamaan
itu dibarengi dengan menyebarnya hegemoni budaya hingga pendidikan pada asasnya
memproduksi struktur masyarakat yang kurang seimbang (equal) tersebut. Agar
keadaan dapat di perbaiki pendidikan menjadi wahana penting untuk rekonstruksi.
Pendidikan
perlu meng-eliminasikan atau menurangi pengaruh-pengaruh dari kurikulum semu
(hidden curriculum) dan menaruh perhatian adanya kotak hitam (black box).
Dengan upaya ini diharapkan idea asasi agar siswa dapat mengembangkan
potensi-potensinya secara penuh dapat direalisasikan.
Selain pengembangan harga diri yang disertai
kreativitas dan keaktifan pada pihak siswa, guru perlu mengubah dirinya dari
cendekiawan pasif menjadi cendekiawan transformatif. Ia tidak hanya diharapkan
melaksanakan kurikulum, melainkan juga bersikap kritis dan bilamana perlu
mengadakan revisi.
CATATAN
1) Richard
Pratte, Contemporary Theories in
Education, Richmont, N.J : Intext Educatioan Publishers, 1971, hal.
207-208.
2) George
F. Kneller, Movements of Throught in
Modern Education, New York : John Wiley and Sons, 1984, hal. 1985.
3) Michael
W. Apple and Lois Weis, Ideology and
Practice in Schooling, Philadelphia, Pa. : Tempe University Press, 1983,
hal. 13.
4) Henry
A. Giroux, Theory and Resistence in
Education, South Hadley, Mass. : Bergin and Garvey Publishers, Inc. 1983,
hal. 61.
5) Pratte,
op.cit., hal. 226.
6) Pratte,
op.cit., hal. 227.
7) Stanley
Aronowist and Henry A. Giroux, Education
Under Siege, South Hadley, Mass. : Bergin and Garvey Publishers, Inc. 1985,
hal. 36.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar