Halaman

Kamis, 14 November 2013

REKONSTRUKSIANISME

PENGANTAR
            Sebagai teori, rekonstruksianisme menaruh perhatian terhadap pendidikan dalam kaitan dengan masyarakat. Para pendukung rekonstruksianisme mengambil posisi bahwa pendidikan itu adalah institusi sosial, dan sekolahpun merupakan bagian dari masyarakat.
            Secara khusus pendukungnya mengamati tentang keadaan masyarakat Amerika pada khususnya dan masyarakat negara industri pada umumnya, karena dianggap mengalami perubahan-perubahan tata kehidupan yang semakin menjauh dari apa yang diidam-idamkan. Perkembangan ilmu, teknologi, dan industrialisasi telah memberikan sumbangan-sumbangan positif bagi kemanusiaan seperti peningkatan kesejahteraan, namun di lain pihak juga memberikan pengaruh-pengaruh yang negative.
            Masyarakat yang tenang, tentram, dan damai dalam artian yang wajar, seolah-olah berangsur-angsur diganti oleh masyarakat yang coraknya tidak menentu, tiada kemantapan, dan yang lebih penting dari itu lepasnya individu dalam keterkaitannya dengan masyarakat serta adanya keterasingan.
            Bab ini selanjutnya mengetengahkan latar belakang timbulnya rekonstruksianisme serta harapan-harapannya, kedudukan manusia dalam masyarakat, budaya teknologi dan industry, ide-ide sentral tentang pendidikan, kurikulum, siswa dan guru. Sebagi bagian akhir bab ini adalah rangkuman.
LATAR BELAKANG
            Bagian dimuka telah menyebutkan adanya pengamatan dari pendukung rekonstruksianisme tentang berbagai perkembangan negative pada masyarakat yang ditimbulkan oleh teknologi dan industrialisasi. Salah satu diantaranya adalah lepas dan keterasingan individu dari masyarakat.
            Sejumlah pengamat menganggap bahwa kekurangan itu timbul sebagai akibat dari kurang terkendalinya perkembangan masyarakat Amerika karena sifatnya yang laises faire. Kompetisi terlalu berlebihan, yang kesemuanya lebih menjurus kepada pemenuhan kepentingan individual dari pada kepentingan social.
            Oleh karena sifat-sifat itu, Amerika Serikat sulit sekali untuk menyembuhkan goncangan social ekonomi sebagai akibat dari Perang Dunia I(PD I). di sekitar tahun dua puluhan keadaan perekonomian sampailah pada titik yang terlemah. Hamper tiada daya untuk menanggapi tuntutan masyarakat yang terutama menderita kesulitan dalam kehidupan karena melemahnya kemampuan ekonomi negara itu.
            Sejumlah ahli fikir menyarankan agar kehidupan perekonomian yang semula berbentuk individual interpreneurship itu diubah menjadi cooperative bersendikan konsep kerja kolektif. Terjemahan pandangan ini secara lebih nyata ialah bila masalah-masalah yang terdahulu lebih dihayati sebagai urusan-urusan individual hendaklah diangkat sebagai masalah nasional dengan diikuti oleh pengubahan tatakerja yang semula laise faire menjadi terpusat secara nasional.
Dalam implementasinya, gagasan ini ternyata membuahkan hasil yang baik, misalnya dengan keberhasilan yang dikenal dengan The New Deal untuk seluruh rakyat pada masa pemerintahan Presiden Franklin D. Rosevelt. Neraca pembayaran dapat dipulihkan kembali (disehatkan) dan taraf kehidupan rakyat menjadi lebih tinggi dibandingkan masa depresi sebelum tahun tiga puluhan.
            Keadaan-keadaan yang lebih baik itu menjadikan para pemikir pendidikan semakin yakin bahwa pendidikan perlu mempunyai peranan positif dalam mengadakan rekonstruksi pendidikan. Masyarakat yang direkonstruksi ini hendaklah lebih mengutamakan kebersamaan daripada kepentingan-kepentingan individu (perorangan).
            Salah seorang eksponen yang berfkir untuk menjadikan pendidikan lebih sebagai instrumen masyarakat daripada kepentingan individu adalah George S. Counts. Dengan tulisan yang berupa pertanyaaan dan tantangan kesanggupan-kesangggupan pendidikan untuk mewujudkan tata sosial baru,  menurut Ricard Pratte, Counts mengetengahkan dua hal. Pertama, sekolah perlu berperan untuk meratakan kesejahteraan. Sekolah hendaklah memberikan tempat semestinya bagi seluruh lapisan masyarakat.  Kedua, guru hendaklah meningkatkan status dan perannya secara profesional. Selain menjadi pendidik dan pengajar yang baik guru hendaklah ikut menelaah masalah-masalah yang timbul dalam masayarakat.
            Dengan diikuti olah banyak penddik yang sealiran, rekonstruksianisme menjadi gerakan yang lebih nampak pada pertengahan kedua Abad XX.
MANUSIA DALAM MASYARAKAT
            Menurut pengamatan rekonstruksianisme manusia itu sejak kecilnya mempunyai  potensi-potensi yang memberikan kemungkinan baginya untuk luwes (fleksibel) dan kukuh (firm) dalam sikap dan tingkah lakunya. Lain dari itu juga dapat diamati bahwa pengetahuan, kecakapan, dan keterampilan yang dimiliki seseorang itu diperoleh (derived) lewat pendidikan atau kegiatan-kegiatan lain yang sejenis. Ini merupakan perpaduan pertemuan antara potensi-potensi yang dimiliki dengan pengaruh yang berasal dari luar.
            Terbentuknya manusia seperti yang telah disinggungkan dimuka menjadi mungkin karena adanya kebudayaan. Dalam hal ini manusia adalah pencipta kebudayaan, dan sebaliknya kebudayaan membentuk manusia dan masyarakat; demikian seharusnya, silih berganti.
            Rekonstruksianisme berpendapat bahwa nilai tertinggi dimiliki oleh manusia bila ia memperoleh kesempatan untuk mengembangkan potensi-potensinya secara alami dan secara penuh . namun, pendidikan sebagai transformasi nilai-nilai budaya cenderung untuk mengantarkan subyek untuk memahami sebagian saja dari segmen-segmen kehidupan kebudayaan dan kemasyarakatan. Pendidikan nampak kurang mampu untuk mengarahkan subyek didik untuk pemahaman ke totalitas.
            Atas dasar pemahaman tersebut dapat dikatakan pendidikan itu mempunyai sifat instrumental terhadap tujuan-tujuan yang hendak dicapai.
            Pengembangan teknologi dan industrialisasi di Barat dengan menumbuhkan adanya suatu masyarakat yang bercorak khusus. Kekhususan itu terutama sekali karena diberi warna budaya teknologi dan budaya industri.
            Pengamatan menunjukkan teknologi dan industrialisasi yang telah berkembang ini meningkatkan kesesejahteraan manusia yang tiada taranya dalam sejarah, namun masyarakat menjadi tersegmentaris (terkotak-kotak), terstruktur, sehingga kehidupan seolah-olah menjadi satu jaringan raksasa. Struktur tersebut terbentuk karena dorongan kerja dalam masyarakat menjadi efisien dan efektif. Masyarakatpada umumnya atau lingkungan kerja pada khususnya menjadi terstruktur sedemikian hingga tiap anggota (orang yang bertugas) dalam sektor hanya terbatas kemungkinan geraknya.
            Sebagai akibat dari struktur yang ketat tersebut masyarakat pada umumnya atau lingkungan kerja tertentu diwarnai oleh tatanan birokrasi. Dinding-dinding birokrasi tidak mudah untuk “ditembus” atau “dititipkan”.
            Sulitnya “menembus” dan “menipiskan” dinding birokrasi disebabkan oleh peranan pendidikan yang lebih mengarahkan subyek didik menjadi spesialis atau orang-orang yang mempunyai kecakapan-kecakapan tertentu secara khusus. Ini berarti budaya teknologi dan industri menyiapkan tenaga untuk administrasi atau tenaga pelayanan dari pada orang yang mampu berinisiatif atau kreatif.
BUDAYA TEKNOLOGI DAN INDUSTRI
Sebagaimana disinggung di muka budaya teknologi dan industri telah menghasilkan tata kehidupan tertentu pada masyarakat. Dengan berkembangnya masyarakat menjadi struktural, maka, sesorang seolah- olah hanya sebagai satu titik dari struktur, yang akhirnya sulit untuk berubah atau bergerak maju.
Budaya teknologi dan industri telah mengembangkan budaya hegemoni, yang dalam kehidupan di masyarakat terwujud sebagai bentuk-bentuk pengawasan terhadap masyarakat. Jadi, hegemoni  budaya itu berfungsi sebagai ideologi, yang dimaksud tidak lain adalah semacam pandangan dunia atau sistem nilai yang timbul sebagai refleksi dari teknologi dan industralisasi.
George F. Kenller, dalam bukunya yang berjudul Movements Thought In Modern Education, membuat ikhtisar pandangan Michael Apple tentang ideologi yang dimaksud. Ada tiga unsur yaitu :
1.      Pandangan bahwa kemajuan itu  tergantung dari sains dan industri
2.      Suatu kepercayaan dalam masyarakat, bahwa agar, orang mampu menyumbangkan jasanya dalam masyarakat yang kompetitif individu- individu perlu beragam kemampuan-kemampuannya( antara lain dengan pendidikan spesialisasi)
3.      Kepercayaan bahwa hidup yang memadai sama dengan menghasilkan dan mengonsumsikan barang dan jasa bagi masyarakat.
Tiga tiganya tercermin dalam kurikulum sekolah . menurut Apple, ini berarti sekolah berfungsi sebagai lembaga penyebar budaya hegemoni.
Selanjutnya, masyarakat teknologi dan industri telah berubah menjadi masyarakat golongan menengah, maka budaya hegemoni itu menjadi instrumen dari golongan menengah atas atau tinggi dalam mempengaruhi kelompok lain. Selain itu juga menjadi wahana untuk memproduksi struktur masyarakat tersebut.
Reproduksi yang dimaksud mempunyai beberapa makna. Pertama ; sosial, yang berati pendidikan akan menghasilkan bentuk-bentuk masyarakat yang sama. Kelompok tinggi dan kelompok menenggah atas mendominasi kelompok yang lebih rendah. Kedua: budaya teknologi dan industri dengan hegemoninya. Ketiga; ekonomi, dengan masyarakat yang kurang memiliki kesamaan dan kesempatan bagi warga-warganya untuk menguasai materi bagi peningkatan kesejahteraanya.
Dengan memperhatikan teori reproduksi yang dipaparkan secara singkat ini, maka, agar perubahan dalam masyarakat ini terjadi pendidikan terus di jadikan sarana untuk mengkonstruksi masyarakat. Disamping itu, juga menjadi jelas bila ada anggapan pendidikan mempunyai aspek-aspek yang terkait dengan kehidupan sosial, ekonomi dan politik.
IDE-IDE SENTRAL TENTANG PENDIDIKAN
Perkembangan rekonstruksianisme dari sejak tampil tokoh-tokohnya pada awal tahun tiga puluhan sampai dengan akhir-akhir ini memperjuangkan hal-hal yang sama, yaitu pendidikan hendaklah menjadi wahana rekonstruksi sosial. Salah satu tokoh yang tenar sejak awal tahun tiga puluhan, yaitu George S. Counts, mengharapkan adanya rekonstruksi sosial karena kekurang menentuan masyarakat Amerika yang disebabkan oleh berkecamuknya liberalisme dengan laises fairenya. Ia menghendaki agar pendidikan-menumbuhkan asas korporatif dalam berbagai kehidupan terutama dalam bidang ekonomi.
Perkembangan ini ternyata merupakan titik balik karena meningkatnya teknologi dan industrialisasi menjadi masyarakat terstruktur, yang menurut sejumlah pengamat menyebabkan menurunnya martabat manusia. Ini terutama disebabkan oleh kedudukan manusia yang seolah-olah hanya sebagai noktah dalam susunan lapangan kerja atau pengabdian tertentu.
Hal-hal itulah yang menumbuhkan fikiran-fikiran kritis tokoh-tokoh rekonstruksianis berikutnya dengan tetap berprinsip pada rekonstruksi masyarakat sebagai tujuan pendidikan. Pendidikan yang dikehendaki dapat menjadi peluang bagi subyek didik untuk merealisasikan dirinya secara wajar. Merealisasikan diri atau mewujudkan diri ini sejalan dengan asas-asas perkembangan masyarakat Barat, yaitu kebebasan (liberty), kesamaan (equality), dan persaudaraan (fraternity).
Sejauh ini pengamatan dan pemikiran-pmikiran dari pendukung rekonstruksianisme ini selain merupakan pengumpulan data atau fakta juga berwujud semacam lontaran kritik tehadap kepincangan ide dan pelaksanaan pendidikan. Berikut ini disajikan dua hal yang merupakan hasil pengamatan, yaitu masalah kurikulum semu (hidden curriculum) dan kotak hitam (black box). Keduanya akan disinggung secara singkat.
Mendidik lewat sistem persekolahan pada asasnya melaksanakan kurikulum. Kurikulum ini dapat diberi makna sebagai kuikulum dalam teori dan kurikulum dalam praktek. Persoalan yang dapat timbul yang mengenai hubungan kurikulum dalam teori dan kurikulum dalam praktek adalah bagaimana pelaksanaan kurikulum itu agar benar-benar seperti yang dikehendaki oleh teori. Sesuai dengan konstelasi kemasyarakatan dan kehidupan ekonomi yang senyatanya, menurut Michael Apple pernyataan itu dari awal-awal telah menunjukkan jawaban yang kurang memuaskan persoalannya adalah terletak pada hegemoni budaya yang telah disinggung di muka.
Dalam penglihatan yang biasa terhadap pelaksanaan pendidikan dan pengajaran hampir selalu dapat dicatat adanya akibat-akibat tertentu dari pendidikan yang berada si luar tujuan yang telah ditetapkan. Misalnya, bila materi kurikulum lebih mencerminkan tuntutan kehidupan untuk daerah perkotaan, maka tumbuhlah diantara para siswa “semacam motivasi” tidak langsung keinginan untuk urbanisasi. Bila fasilitas-fasilitas untuk kehidupan di daerah pedesaan masih berbeda jauh dengan yang terdapat di perkotaan “motivasi” untuk urbanisasi itu tertanam pada subyek didik lewat pendidikan.
Menurut Henry A. Gyroux, pengertian kurikulum semu itu hendaklah digunakan sebagai bekal untuk meninjau secara kritis muatan hegemoni budaya (dalam kurikulum yang lazim sekarang), hingga hasilnya adalah terbentuknya masyarakat tidak seimbang ini. Uraian tentang harapan ini disajikan pada pembahasan khusus tentang kurikulum.
Hal berikut yang perlu mendapatkan perhatian menurut rekonstruksianisme adalah apa yang dinamakan kotak hitam (black box). Yang dimaksud dengan kotak hitam ini ialah keadaan-keadaan dalam sekolah atau khususnya kelas, yang selama ini terabaikan pengamatannya secara sosiologis.
Selama ini keadaan di sekolah atau khususnya di kelas sering dipandang sebagai sesuatu yang abstrak yang berarti kurang memenuhi tinjauan menurut sosiologi. Michael W. Apple dan Lois Weis menunjukkan bahwamateri kurikulum sekarang umumnya kurang mencerminkan kebutuhan siswa karena berorientasi pada kepentingan kelompok pemegang peran dalam pengembangan masyarakat, yaitu kelas menengah atas dan tinggi. Mereka lebih bersifat menerima dari pada mengarbsorsikan pengetahuan-pengetahuan itu secara kritis dan sadar. Malaha, selalu dapat diperkirakan sebagian siswa terpaksa menerima materi-materi pelajaran dengan sikap yang kurang serasi atau malahan menolaknya secara batiniah.
Berikut ini disajikan dua hal yang merupakan hasil pengamatan, yaitu masalah kurikulum semu (hidden curriculum) dan kotak hitam (black box). Keduanya akan disinggung secara singkat.
Mendidik lewat sistem persekolahan pada asasnya melaksanakan kurikulum. Kurikulum ini dapat diberi makna sebagai kurikulum dalam teori dan kurikulum dalam praktek. Persoalan yang dapat timbul yang mengenai hubungan kurikulum dalam teori dan kurikulum dalam praktek adalah bagaimana pelaksanaan kurikulum itu agar benar-benar seperti yang dikehendaki oleh teori.
Sesuai dengan konstelasi kemasyarakatan dan dan kehidupan ekonomi yang senyatanya, menurut Michael Apple, pertanyaan itu dari awal-awal telah menunjukkan jawaban yang kurang memuaskan. Persoalannya adalah terletak pada hegemoni budaya yang telah disinggung dimuka.
Dalam penglihatan yang biasa terhadap pelaksanaan pendidikan dan pengajaran hampir selalu dapat dicatat adanya akibat-akibat tertentu dari pendidikan yang berada di luar tujuan yang telah ditetapkan. Misalnya, bila materi kurikulum lebih mencerminkan tuntutan kehidupan untuk daerah perkotaan, maka tumbuhlah di antara para siswa “semacam motivasi” tidak langsung keinginan untuk urbanisasi. Bila fasilitas-fasilitas untuk kehidupan di daerah pedesaan masih berbeda jauh dengan yang terdapat di perkotaan “motivasi” untuk urbanisasi itu tertanam pada subyek didik lewat kurikulum.
Menurut Henry A. Gyroux, pengertian kurikulum semu itu hendaklah digunakan sebagai bekal untuk meninjau secara kritis muatan hegemoni budaya (dalam kurikulum yang lazim sekarang), hingga hasilnya adalah terbentuknya masyarakat tidak seimbang ini. Uraian tentang harapan ini disajikan pada pembahasan khusus tentang kurikulum.
Hal berikut yang perlu mendapatkan perhatian menurut rekonstruksianisme adalah apa dinamakan kotak hitam (black box). Yang dimaksud dengan kotak hitam ini ialah keadaan-keadaan dalam sekolah atau khususnya kelas, yang selama ini terabaikan pengamatannya secara sosiologis.
Selama ini keadaan di sekolah atau khususnya di kelas sering dipandang sebagai sesuatu yang abstrak yang berarti kurang memenuhi tinjauan menurut sosiologi. Suatu kelas terdiri atas anak-anak yang usianya lebih kurang sebaya dengan kecerdasan atau kemampuan yang lain sebaya pula, yang referensinya telah ada sebagai hasil penelitian atau ungkapan lain secara psikologik. Pada hal pengetahuan-pengetahuan yang diberikan, yaitu kurang ditransferkan lewat kurikulum sering-sering membawa persoalan tersendiri.
Michael W. Apple dan Lois Weis menunjukkan bahwa materi kurikulum sekarang umumnya kurang mencerminkan kebutuhan siswa karena berorientasi pada kepentingan kelompok pemegang peran dalam pengembangan masyarakat, yaitu kelas menengah atas dan tinggi. Menurut tokoh-tokoh ini orientasi tersebut lebih-lebih tercermin pada paket-paket bahan pelajaran yang disusun dan diterbitkan oleh perusahaan besar. Proses pendidikan dan pengajarannya menumbuhkan suasana pasif atau laise faire pada pihak siswa. Mereka lebih bersifat menerima dari pada mengabsorbsikan pengetahuan-pengetahuan itu secar kritis dan sadar. Malahan, selalu dapat diperkirakan sebagian siswa terpaksa menerima materi-materi pelajaran dengan sikap yang kurang serasi atau malahan menolaknya secara batiniah.   
Sebagai akibatnya, guru di sekolah kurang mempunyai peluang untuk memahami materi secara baik, lebih-lebih berinisiatif untuk mereka-reka materi pelajaran untuk disesuaikan dengan situasi dan kondisi tertentu yang relevan. Oleh karena sebagian siswa tidak dapat menguasai materi pengetahuan dan keterampilan yang diberikan, dalam masyarakatpun mereka tidak dapat berdiri sama tinggi dibandingkan dngan yang lain. Agar asas kesamaan (equality) dalam masyarakat dapat tercipta pendidikan perlu mengurangkan sesedikit mungin kotak-kotak hitam tersebut. 

KURIKULUM
Dimuka telah berulang kali disinggung adanya sejumlah konsepsi dari rekonstruksianisme tentang keinginan untuk menjadikan pendidikn sebagai wahana rekonstruksi masyarakat. Maka dari itu bila sekolah atau guru kurang atau tidak menaruh perhatian sama sekali terhadap apa yang ada dan terjadi diluar dinding sekolah bukanlah pendidkan yang tepat.
Menurut pratte, rekonstruksianisme membayangkan masyarakat sebagai laboratoria yang dapat digunakan untuk mencari penyelesaian masalah sosial seperti konformitas, ketergantungan, hal-hal yang lebih khusus seperti masalah perkotaan, polusi, dan lain-lainnya. Masalah-masalah ini nampak terus meningkat kuantitas dn kualitasnya di Amerika Serikat.
Lebih lanjut Pratte mengatakan siswa perlu dibekali dengan pengetahuan-pengetahuan yang mendorong perkembangan kemampuan melihat dan memecahkan sesuatu secara kritis. Untuk ini yang diperlukan adalah pengetahuan-pengetahuan dasar seperti matematika, fisika, kimia, sosiologi dan lain-lainnya ditambah dengan hal-hal yang sekarang menonjol seperti industrialisasi, media massa, tenaga nuklir, ekologi dan lain-lain.
Dengan memasukkan sejumlah pengetahuan dan masalah-masalah aktual itu, diharapkan keaktivan guru meningkat, dan siswa-siswa dilatih untuk berpikir dan berupaya untuk mengembangkan hal-hal terpuji untuk masa mendatang. Sedangkan guru, perlu lebih memperdalam pengetahuannya tentang sosiologi dan antropologi.
Filsafat John Dewey, yaitu eksperimentalisme, nampaknya cukup terefleksi pada pandangan rekonstruksianisme tentang kurikulum seperti tersebut dimuka. Kurikulum tersebut diharapkan mampu mengembangkan kemampuan berfikir kritis, kemampuan memecahkan masalah, dan berbuat secara realistik.
Meskipun demikian, tokoh-tokoh rekonstruksianis seperti Stanley Aronowitz dan Henry A. Giroux, menganggap filsafat John Dewey tersebut masih “terhenti” pada tahap konsepsi umum saja, karena belum secara “nyata” menunjuk pada masyarakat tertentu.
Upaya untuk “melanjutkan” pemikiran itu antar lain dilakukan oleh Michael W. Apple dengan konsepnya tentang kurikulum yang dapat menipiskan peranan budaya hegemoni. Secara selintas hal ini telah disinggung di muka.
Hal utama yang dapat digunakan untuk mengurangkan ialah bila pengetahuan dan keterampilan tidak hanya ditransferkan, tetapi sekaligus ditransformasikan hingga selain dikuasai oleh siswa, juga membangkitkan kemampuan berikir kritis dan kreatif. Para siswa perlu dimotovasi agar mampu membayangkan masa mendatang.
SISWA DAN GURU
Ada hal-hal yang ideal yang dikembangkan oleh rekonstruksianisme di sekitar siswa dan guru. Kedua komponen pendidikan ini hendaklah memperoleh perlakuan yang tepat agar dapat diketemukan langkah-langkah perbaikan untuk masa mendatang.
Siswa yang lebih banyak dipandang atau dijadikan makhluk yang pasif, perlu diubah menjadi makhluk yang aktif dan kreatif. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah pengubahan konsepsi: pendidikan sebagai transfer pengetahuan menjadi transformasi pengetahuan. Siswa diharapkan diikut sertakan mencerna pengetahuan itu hingga menjadi miliknya. Untuk ini, sebagaimana disinggung di muka, pengetahuan yang diberikan kepada siswa hendaknya tidak hanya pengetahuan-pengetahuan dasar, melainkan juga yang berkaitan dengan problema-problema yang ada dalam masyarakat. George S. Counts menyebutkan pengetahuan-pengetahuan tersebut sebagai pembentuk mata krisis (critical eye) pada siswa.
Hal yang ideal tentang guru diberi nama oleh Stanley Aronowitz dan Henry A. Giroux sebagai memiliki kemampuan sebagai seorang intelek yang transformatif. Menurut kedua tokoh ini, usaha-usaha inovasi pendidikan selama ini memang telah menghasilkan perubahan atau perbaikan, namun belum dapat mengembangkan pribadi guru yang ideal. Kalau pribadi guru ini dapat dikembangkan secara ideal pembaharuan akan dapat terus menerus dilakukan. Guru hendaknya menjadi seorang intelek yang transformative.
Seorang guru hendaknya bukan hanya menerima dan menjalankan kurikulum yang ada, melainkan secara kritis dapat menghubungkan materi-materi kurikulum itu dengan relevansinya dengan masyarakat. Seperti halnya, yang diutarakan di muka misalnya, mata pelajaran geografi dapat dikaitkan dengan problem-problem tentang kepadatan penduduk, urbanisasi, dan lain sebagainya. Selanjutnya, dimana perlu mampu mengadakan revisi agar materi pelajaran memang cocok dengan kebutuhan siswa.
Kalau kemampuan professional untuk mengadakan revisi itu tidak memadai, guru dapat mengambil langkah lain. Dari pokok-pokok bahasan yang telah secara sekuensial ditetapkan, guru dapat memilih materi-materi yang dapat membangkitkan pandangan kritis siswa.
Dalam pelajaran fisika yang pokok bahasannya menegenai fisika inti misalnya, dapat dikaitkan dengan pertanyaan etis tentang gejala meningkatnya perlombaan persenjataan. Guru yang transformatif diharapkan mampu mengembangkan kesasaran tentang pengembangan nuklir untuk perdamaian dan kemanusiaan. Artinya, sampai-sampai para siswa menganggap perlombaan persenjataan itu justru berlawanan dengan kemanusiaan.
RANGKUMAN
Rekontruksianisme timbul sebagai akibat dari pengamatan tokoh-tokoh pendidik terhadap masyarakat Amerika khususnya dan masyarakat Barat pada umumnya, yang menjelang tahun tiga puluhan menjadi kurang menentu. Keadaan masyarakat tidak sepadan dengan harapan ideal seperti timbulnya kebebasan, kesamaan, dan persaudaraan. Untuk mengembalikan kepada cita-cita semula hendaknya pendidikan dapat berperan sebagai instrumen rekontruksi masyarakat.
Oleh karena melonjaknya individualisme dan laises faire, hendaknya rekontruksi itu mengarah kepada keinterprenuran kooperatif. Keberhasilan upaya ini antara lain ditunjukkan dengan adanya The New Deal.
Namun, keberhasilan juga menjadi titik balik, karena meningkatnya pengembangan teknologi dan industrialisasi, malahan masyarakat menjadi terstruktur sedemikian ketatnya. Di samping itu yang muncul adalah ketidaksamaan.
Ketidaksamaan itu dibarengi dengan menyebarnya hegemoni budaya hingga pendidikan pada asasnya memproduksi struktur masyarakat yang kurang seimbang (equal) tersebut. Agar keadaan dapat di perbaiki pendidikan menjadi wahana penting untuk rekonstruksi.
Pendidikan perlu meng-eliminasikan atau menurangi pengaruh-pengaruh dari kurikulum semu (hidden curriculum) dan menaruh perhatian adanya kotak hitam (black box). Dengan upaya ini diharapkan idea asasi agar siswa dapat mengembangkan potensi-potensinya secara penuh dapat direalisasikan.
Selain pengembangan harga diri yang disertai kreativitas dan keaktifan pada pihak siswa, guru perlu mengubah dirinya dari cendekiawan pasif menjadi cendekiawan transformatif. Ia tidak hanya diharapkan melaksanakan kurikulum, melainkan juga bersikap kritis dan bilamana perlu mengadakan revisi.
CATATAN
1)      Richard Pratte, Contemporary Theories in Education, Richmont, N.J : Intext Educatioan Publishers, 1971, hal. 207-208.
2)      George F. Kneller, Movements of Throught in Modern Education, New York : John Wiley and Sons, 1984, hal. 1985.
3)      Michael W. Apple and Lois Weis, Ideology and Practice in Schooling, Philadelphia, Pa. : Tempe University Press, 1983, hal. 13.
4)      Henry A. Giroux, Theory and Resistence in Education, South Hadley, Mass. : Bergin and Garvey Publishers, Inc. 1983, hal. 61.
5)      Pratte, op.cit., hal. 226.
6)      Pratte, op.cit., hal. 227.

7)      Stanley Aronowist and Henry A. Giroux, Education Under Siege, South Hadley, Mass. : Bergin and Garvey Publishers, Inc. 1985, hal. 36.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar